Semua orang pasti punya masalah sendiri. Masalah remaja yang akan terus menghantui sampai memungkinkan nilai mata pelajaran mereka sedikit menurun. Tapi ini juga buat pengalaman untuk mereka. Lalu bagaimana kelanjutan perjalanan cinta Rio?
Part 10 : Lembaran yang Baru
“Ify??” semua orang menoleh. Ify sedang mencoba untuk duduk sambil memegangi kepala. Berusaha untuk mengingat apa yang barusan terjadi. Pandangannya masih terasa buram. Terlihat seorang cowok tampan yang ada di hadapannya. Memandang Ify dengan tatapan sayu.
“Errrngggh...” rintih Ify. Tangan mungilnya masih berkutat memegang dahi Ify yang terasa semakin berputar dan perih. Sakit. Ify melihat beberapa gambaran hidup. Cowok dan cewek yang sedang tertawa. Sedang bermain di taman bermain, saling berpelukan, dan seorang cewek yang meyumbulkan kepala sambil melambaikan tangan. Cewek itu... Ify.
Perlahan Ify membuka mata. Dilihat sekeliling, terkadang buram, terkadang jelas. Orang-orang yang ia kenal. Yang selama ini selalu menemaninya. Tapi pandangan Ify tertuju kepada seorang wanita paruh baya tengah menatap Ify. Mata wanita itu terlihat cukup nanar. Mungkin karena setelah menangis lama barusan.
“M..ma..ma....?” ucap Ify lirih. Matanya ia kerjapkan untuk sekian kali. Wanita paruh baya itu segera memeluk Ify. Ify merasakan aliran hangat menyeruak.
“Ify.. Ify, mama di sini.. Tenang ya..?” Mama Ayu mengelus punggung Ify. Berusaha menenangkannya. Meski tak terlihat oleh Mama Ayu, terasa jelas bahwa Ify sedang mengangguk.
Rio menatap Ify yang memeluk mama Ayu. Mata Ify memang sedang tertutup, tapi terlihat kelembutan di balik wajah tirus itu. Tersimpan rasa haru karena mama Ayu hadir di sini. Membuat senyuman hangat merekah di wajah Rio. Cakka menyikut lengan Rio.
“Liatin terooozz..” goda Cakka sambil memainkan alis. Rio menggaruk kepala sambil cengar-cengir tidak jelas. Ify menoleh ke arah Rio dan Cakka dengan dahi berkerut.
“Em..” lirih Ify. Mama Ayu menoleh ke arah Cakka dan Rio yang bercanda.
“Oh, Ify. Kamu inget Rio kan? Yang pas kecil itu tuh lhoooo??” Mama menyikut lengan Ify. Rio berlutut di depan Ify dengan tatapan mata yang teduh. Memandang ke gadis itu, berharap bahwa do’a yang selama ini ia panjatkan terkabulkan hari ini.
Beberapa detik setelah Ify berusaha mengingat, ia memegang kepalanya. Terlintas beberapa gambaran flashback.
“Fy, Ify.. Kamu tiduran aja dulu. Pelan-pelan ngingetnya,” bujuk Mama Ayu dengan perlahan membaringkan Ify di tempat tidur. Mungkin posisi Ify sudah terbaring dengan nyaman di tempat tidur nan empuk itu, tapi pikirannya masih melayang ke masa lalu. Masa lalu yang berupa takdir yang mempertemukan Ify dengan...
Flashback
Seorang gadis kecil berumur 6 tahunan yang berkuncir dua itu tengah bermain di tengah taman yang berbunga. Gadis kecil tersebut bernama Ify. Duduk menatap indahnya danau yang terdapat di seberang sana. matahari memang bersinar dengan gagah hari itu, tapi pohon yang rindang memayungi Ify dari panas matahari.
Senyuman manis merekah di wajah tirus gadis kecil itu. Terus tersenyum setiap hari ia mengunjungi taman itu yang dihiasi oleh pemandangan danau jauh di seberang sana. Keindahan duniawi memang pantas untuk dinikmati sekarang. Saking senang dengan pemandangan nan indah itu, si gadis kecil tak sadar bahwa seorang cowok berumur 7 tahun tengah menatapnya.
Cowok itu bertubuh cukup tinggi. Tangan kanannya menggenggam botol kecil berisi air yang sangat dingin. Tangan kirinya memegang bola basket. Dengan cahaya yang menerpa rambut cowok itu yang sedikit basah karena dihujani keringat, ia terlihat sangat tampan dan manis. Cowok kecil itu bernama Rio.
Rio mendekati Ify yang duduk di rerumputan. Tengah membelakanginya, tangan Rio menepuk pelan pundak Ify. Lantas gadis mungil itu menoleh.
“Hai!” sapa Rio. Ify yang kecil dan polos itu segera tersenyum dan mengulurkan tangan.
“Halo! Namaku Ify! Kamu?” Rio ternganga sesaat, terkekeh kecil, lalu menyambut uluran tangan mungil itu.
“Rio.”, jawabnya singkat. Kemudian duduk di samping Ify.
Keheningan nyaman terjadi di antara mereka. Hanya semilir angin berhembus menerbangkan beberapa helai daun dan kicauan burung menambah efek indahnya pemandangan di sana. mungkin untuk Rio yang baru menemukan tempat seindah ini, membuat matanya tak berkedip memandangi pemandangan di taman tersebut.
“Wuah! Indah banget!” Rio takjub. Ify menoleh ke arah Rio sambil tertawa kecil. Lalu salah satu barang yang di bawa Rio sangat menarik perhatian Ify untuk bertanya.
“Em.. Kamu suka basket ya, Kak Rio?” mendengar pertanyaan Ify, Rio mendelik sebentar ke arah bola basket yang ia taruh di sebelahnya.
“Iya, aku suka banget basket. Oh, jangan panggil aku ‘kak’. Ngga enak bawaannya. Panggil aja Rio.”, ujar Rio yang dianggukkan oleh Ify. “Kamu sering ke sini?”
“Sering. Apalagi kalo papa sama mama lagi suka berantem.”, sungguh polos, Ify menjawab pertanyaan Rio dengan seulas senyuman tipis. Walau tersirat rasa pahit yang terasa saat Ify kembali memikirkan papa dan mamanya yang bertengkar tadi malam. Jawaban Ify membuat Rio merasa tidak enak.
“Oh.. Maaf, aku ng—”
“Ngga apa apa kok Yo” potong Ify. Memandang kembali pemandangan indah yang tercipta untuk para kaum manusia itu. Mungkin danau ini memang sengaja terbuat agar para umat manusia yang bersedih dapat menenangkan hati.
“Rio punya cita-cita?” tanya Ify.
“Punya dong. Tapi dengan step-by-step.” Ify menaikkan alis. Menatap pangeran tampan yang tengan duduk bersila di sebelahnya.
“step-by-step?”
“Tahap tahapnya! Jadi tahap pertamaku adalah aku pingin jadi kapten basket jika aku udah SMP atau SMA nanti. Lalu kalau aku sudah lulus SMA, aku mau bergabung di U of A. Tapi tujuan aku yang sebenernya itu adalah memakai Redhawks uniform. Seragam dari team U of A.” Ify hanya bisa manggut-manggut. Walau dengan sebagian kalimat Rio yang tak mudah untuk ia pahami.
“Kalau kamu, punya cita-cita?” kali ini giliran Rio yang bertanya.
Ify tak menyahut. Lebih memilih untuk menatap sebagian besar langit yang tak tertutup oleh rindang pohon besar di atas tempat ia berpijak. Tatapannya setengah menerawang ke arah pertanyaan yang barusan ditanyakan oleh Rio. Mungkin sebagian jiwa Ify tersadar, bahwa bibirnya tengah mengucapkan sesuatu.
“Mau bikin papa sama baikan kayak dulu lagi..” lirih Ify. Rio yang tadi memandang ke arah danau itu, segera memalingkan wajah ke arah Ify yang matanya mulai berkaca-kaca. Perlahan Rio menyeka air mata Ify yang cepat atau lambat pasti akan menetes.
“Sssh.. Sssh.. Udah jangan nangis Ify..” bujuk Rio. Ify menurunkan tangan Rio, mengangguk, dan tersenyum. Mungkin senyuman ini adalah senyuman yang manis. Sangat manis. Membuat Rio – yang baru berusia 7 tahun – merasa ada yang aneh di benaknya.
“Mm.. Ify belum tau cita-cita Ify apa..Mungkin suatu saat nanti Ify bakal tau.”, sambung Ify. Rio tersenyum.
Sambil memandang pemandangan yang tertera dihadapan mereka berdua, mereka saling bertukar informasi satu sama lain. Dan dalam waktu singkat, mereka merasa menjadi akrab.
Flashback Off
Sambil memejamkan mata, Ify menghilangkan bayangan barusan dari benaknya. Perlahan ia membuka mata. Didapati oleh tatapannya, seorang pangeran yang selama ini telah menemaninya. Selama ini telah menjadi tempat curhatnya. Yang bisa membuat Ify menangis puas. Yang bisa membuat Ify tertawa lepas. Rio.
“Lil Fairy.. Kamu inget aku ngga?” tanya Rio harap-harap cemas.
Ify terdiam sejenak. Sedetik kemudian, Ify merengkuh Rio erat. Tentu dengan senyuman hangat yang merekah. Disertai dengan air mata yang meneteskan sebuah rindu yang selama ini ia rasakan.
“Rio.. Lil Fairy inget kok ama Rio..” bisik Ify. Mempererat rengkuhan itu pada Rio. Rio sempat kaget dengan reaksi Ify. Tapi bisikan yang barusan ia dengar membuat senyuman yang menyiratkan kebahagiaan merekah di wajah Rio dan ia membalas pelukan gadis itu.
“Huuuuu.. Mesra aja! Kitanya dicuekin!” gerutu Gabriel. Ify dan Rio perlahan melepaskan rangkulan mereka. Seketika wajah mereka berdua memerah.
“Haha. Santai aja kali. Kita semua kan udah tau hubungan kalian berdua kayak gimana. Dan kita bakal maklumin kalo kalian berdua sangaaaaat deket,” sahut Sivia, lalu menyelipkan beberapa helai rambutnya yang sedikit berantakan dan keluar dari jalur ikat kuda rambut ikal itu.
Ify tersenyum. “Makasih semua. Syukur-syukur sekarang gue udah ngerasa kalo kayaknya ingetan gue udah pulih deh..” ujar Ify. Rio tersenyum.
“Yaiyalah. Orang udah inget ama pangerannya masa ngga bisa dibilang pulih..” goda Cakka. Rio memelototi Cakka. Cakka langsung berdigik ngeri.
“Fy, minum obat dulu. Biar kepalanya ngga terlalu sakit. Ayo, sama ini minumnya” Mama Ayu mengangsurkan sebuah pil dan segelas air putih. Ify mengangguk dan mengambil pil itu, memasukannya dalam mulut, dan meneguk sebagian air putih segar itu.
“Makasih, ma” Ify mencoba untuk tidur kembali. Tapi tidak sambil memejamkan mata. Karena berhubung sekolah sebentar lagi akan memasuki jam pulang. Mama Ayu duduk di sebelahnya sambil mengelus pelan rambut Ify.
Drrt.. drrt.. ponsel Mama Ayu bergetar. Dengan cepat Mama Ayu mengambil ponsel Blackberry dari tas yang beliau bawa.
“Aduh.. Kenapa harus sekarang sih..?” desah Mama membuat Ify menoleh. Mama menaruh kembali ponselnya dan hendak pergi.
“M.. Mama mau ke mana?” lirih Ify. Mungkin kekuatan Ify belum sepenuhnya terpenuhi, jadi suara Ify terdengar kecil, dan sedikit lirih. Mama menghela napas.
“Mama ada rapat buat restoran. Soalnya tadi ada keluhan soal pelayanan. Maaf ya sayang. Mobil mama pake dulu..”
Ify mengangguk kecil. Mama Ayu segera mengecup keningnya dan menyempatkan beberapa detik untuk membelai kembali poni Ify yang jatuh menghiasi wajah tirus itu. Sambil memperhatikan punggung mama yang berjalan menjauh pergi, Ify mencoba untuk membendung air mata yang bisa jatuh kapan saja. Kenapa lagi-lagi mama mementingkan pekerjaan dibanding Ify?
“Betewe nih ya, mendingan siapa gitu ke atas ngambilin tas buat Ify?” ujar Rio. Sivia mengangguk.
“Gue aja deh kak. Lagipula tadi gue juga udah ijin ama guru kelas.. dan guru piket juga” jelas Sivia. Rio tersenyum dan mengangguk.
“yaudah mendingan gue juga naik deh. Gue ambilin tas elo pada” timpal Alvin. Cakka ikut beranjak.
“Ehm.. gue sih kayaknya bareng Alvin deh. Soalnya kasian juga nih anak kalo sendirian bawa tas kita-kita. Yuk, Vin.”, ajak Cakka.
“Beuh. Gue mah kagak mau jadi obat nyamuk. Woe! Tunggui guee!!” Gabriel berlari menjauh dari Ify dan Rio. Mereka sama-sama saling membuang muka. Tak tahu harus berbicara apa.
Tiba-tiba Rio teringat sesuatu. Ia merogoh saku celana dan mengambil kalung perak yang sempat ia tunjukkan kepada Ify. Ify menoleh sedikit ke arah Rio, sedikit menaikkan alis. Barang itu..
“Lil Fairy, kamu inget ini?” tanya Rio. Kalung itu begitu cantik. Warna perak yang bersinar karena diterpa oleh cahaya matahari. Dihiasi dengan inisial ‘A’ di tengah kalung. Wajah Ify langsung sumringah.
“Inget! Inget! Ini kan yang waktu itu di toko Naughty itu kan?? Yang aku bilang aku mau beli ini!” Ify heboh sendiri. Rio terkekeh. Inilah Ify, Ify yang manja, Ify yang heboh, Ify yang manis dengan sifat yang sedikit childish.
“hahaha.. Kamu tuh hebooh aja! Iya, ini yang waktu itu kamu mau beli sampe ngerengek ngga jelas. Sampe di rumah masiih aja guling-gulingan di kasur. Mamamu sampe kelabakan ngurusin anak manja kayak kamu nih!” ledek Rio yang mengacak puncak rambut Ify pelan.
“Buat kamu.”, Rio mengangsurkan kalung perak itu. Ify menerimanya dengan senyuman yang manis sekali. Membuat Rio bisa merasakan rasa hangat mulai menjalar di wajahnya.
“Makasih Rio..” Rio tersenyum dan kembali hanyut dalam kesunyian. Ify mencoba untuk memasangkan kalung perak itu sambil sedikit menggerutu. Rio mengangkat wajah yang semula ia tundukkan, dan tertawa.
“Sini.. sini.. aku pakein.. kamu balik badan gih” Ify menurut dan membalikkan badan membelakangi Rio. Perlahan Rio memasangkan kalung itu ke leher Ify. Setelah selesai ia pasangkan, Ify merogoh saku bajunya untuk mengambil ponsel BlackBerry. Berhubung layarnya masih gelap, Ify bisa melihat bayangan dirinya terpantul di layar tersebut.
“Bagus banget. Tapi kenapa inisialnya ‘A’?” tanya Ify. Mengalihkan pandangan ke arah Rio.
“A dari Alyssa. Ya kan?”
“Oiya. Aku lupa ama namaku sendiri. Hehehe..” Ify tertawa kecil. Rio menatap Ify sebentar, kemudian menggenggam tangan Ify.
“Lil Fairy, aku mau kita mulai dari awal lagi.” Kalimat Rio tadi memaksa Ify untuk menoleh.
“Maksudnya?”
“Yah, kita kan udah temenan sejak lama. Dan kamu baru inget kalo aku itu ada di samping kamu. Kamu sempet amnesia sedang. Karena amnesia itu kamu ngga inget sama aku dan kenangan kita bersama. Nah, karena kamu udah inget lagi sekarang, aku pinginnya kita mulai lembaran kertas yang kosong. Lembaran yang baru. Karena aku pingin pertemanan kita lebih kuat daripada yang dulu..” jelas Rio.
“dan tujuan aku mau memulai semua dari awal karena aku kan terkenal disini jadi takutnya fansku pada ngiri sama kam..” Ify menoyor kepala Rio sebelum ia melanjutkan ceritanya.
“Dasar. Yaudah! Kita mulai lembaran yang baru! Hai, namaku Ify.”, Ify mengangsurkan tangannya. Rio mengangkat alis, kemudian segera tersenyum lebar.
“Nama gue Rio. Salam kenal, Lil – eh bukan.. Ify” mungkin ini kedua kalinya Rio memanggil nama Ify. Karena selama ini ia selalu memanggil Ify dengan sebutan Lil Fairy.
“Oiya, Fy. Kapan lagi aku bisa memanggil kamu ‘Lil fairy’?” tanya Rio. Ify tersenyum.
“Kapan aja boleeeeh!!”
***
Hiruk pikuk di seluruh BP terjadi, mungkin setiap sesi pulang sekolah. Murid BP berlalu lalang dari kelas ke gerbang sekolah. Termasuk Ify dkk. Mereka berjalan dengan kesunyian yang menghiasi tiap langkah mereka. Ify berjalan dengan sedikit gontai, mungkin pengaruh amnesianya yang baru pulih membuat keseimbangan tubuhnya sedikit goyah.
“Hmm.. Gue duluan ya! Sepupu gue bentar lagi dateng.”, ucap Gabriel di selang kesunyian itu. Cakka menaikkan alis.
“Oik?” Gabriel mengangguk.
“Sampein maaf gue ke dia ya..” kata Cakka. Gabriel tersenyum lalu mengangguk. Baru kali ini ia melihat sisi lembut Cakka. Sisi lembut kepada seorang gadis. Kata-kata Cakka barusan terdengar sangat tulus. Membuat Gabriel merasa ingin terus tersenyum sampai ia bertemu Oik.
“Yaudah gue juga duluan deh,” ujar Sivia.
“Pulang sama siapa, Vi?” tanya Alvin tiba-tiba.
“Mmm.. Kayaknya gue naik angkot deh. Mobil lagi di pake mama gue buat ke kantor. Kenapa Kak?” tanya Sivia. Jutaan do’a ia panjatkan di batinnya agar Alvin mau mengajaknya untuk pulang bersama.
“Ooh. Yaudah, mau gue anter pulang. Rumah lo di mana sih?” jawaban Alvin membuat Sivia ingin terbang ke langit ke tujuh. Lebay? Biar. Tak ada yang bisa mengalahkan kebahagiaan Sivia saat ini. Pulang bersama dengan cowok yang selama ini bisa merebut hatinya.
“M.. Boleh deh kak. Ngga ngerepotin kan?”
“Ngga lah. Ayo naik!” Alvin mengangsurkan sebuah helm berwarna merah dengan corak hitam di sekitarnya kepada Sivia. Sivia memakain helm dan naik motor Ninja Alvin. Melambaikan tangannya dan segera berlalu di jalan raya.
“Gue mau ke ruang OSIS dulu deh. Mau ngecek berkas buat basket kita.”, Cakka melambaikan tangan dan segera berlari menelusuri lorong menuju ruang OSIS. Tinggalah Rio dan Ify yang masih diam beribu kata.
“Ify.. Mau gue anter?” tanya Rio memecah kesunyian.
“Boleh deh Kak. Lo masih inget rumah gue di mana kan?”
“Masih lah. Ayo” Rio berjalan ke arah tempat parkiran motor diiringi oleh Ify dibelakangnya.
***
Cakka masih terengah-engah dalam perjalanannya ke arah ruang OSIS. Karena ia ingin bersegera mengambil berkas itu dan bergegas pulang. Berhubung kuis Pak Duta kemarin sempat tertunda, membuat Cakka harus mengulang kembali rumus yang telah diajarkan beliau. Dan rumus itu sangat sulit untuk Cakka dan pasti membutuhkan waktu lama untuk menyelesaikan soal yang ada.
BRUK! Cakka menabrak seorang gadis yang membawa beberapa berkas IPA. Sontak Cakka segera berlutut dan mengambil berkas yang berserakan di lantai itu.
“Sori.. Sori! Gue lagi buru-buru.. soriii banget!” pinta Cakka masih berkutat mengambil berkas yang berserakan tersebut. Cewek itu diam. Memasukkan berkas itu ke dalam map berwarna merah yang ia bawa.
Cakka menatap cewek itu dengan pertanyaan. ‘kayaknya gue pernah liat ini cewek deh.. Tapi dimana ya?’ Rambut sebahu yang terikat . menyisakan beberapa helai rambut di telinganya. Seragam yang cukup berantakan, kemeja yang keluar dari rok abu-abu membuat Cakka melihat kesan gadis ini adalah tomboy. Tentu saja. Karena saat gadis itu mengangkat wajah..
“Lho, Agni?” Cakka terkesiap. Karena jarak wajah di antara mereka hanya berjarak kira-kira 3 cm. Menyadari itu, Agni segera memalingkan wajah dari Cakka.
“Ehm. Makasih ya udah bantuin gue. Sekarang gue mau ke ruang OSIS nih” ujar Agni. Cakka ikut berdiri.
“Gue ikut ya. Soalnya gue juga mau ke ruang OSIS” tukas Cakka tanpa menunggu jawaban ia refleks menggenggam tangan Agni dan berjalan menuju ruang OSIS.
Agni hanya diam. Ia tak bisa menolak tingkah Cakka yang menggenggam erat tangannya. Desiran aneh terasa lagi di hati Agni. Tanpa mengetahui apa yang dimaksud oleh gundah yang selama ini menghantuinya. Semua gundahnya tentang Cakka. Sudah berkali-kali Agni terpikirkan oleh Cakka. Wajahnya, senyumannya, kebaikannya, dan masa lalu yang sempat mereka lalui bersama.
Barulah Cakka sadar akan lingkaran tangannya pada tangan Agni setelah mereka sampai di ruang OSIS. Cakka langsung melepas genggaman itu dari Agni. Entah mengapa perasaan kecewa menyelimuti raut wajah gadis itu, seolah-olah tak ingin genggaman tangan itu lepas darinya.
“Ehm. Itu di sebelah sana berkas IPA-nya. Gue sih mau ngecek berkas basket..” jari telunjuk Cakka menelusuri beberapa map bertuliskan ‘basket X’ ‘basket XI’ dan ‘basket XII’. Kemudian ia mengambil berkas yang bertuliskan TURNAMEN BASKET. Diam-diam Agni memperhatikan berkas yang diambil oleh Cakka.
“Turnamen basket. Lawan siapa?” tanya Agni. Cakka menoleh sekilas, lalu memusatkan pandangan kembali ke arah berkas itu.
“Rencananya mau sama SMA Karya Nusantara. Tapi itu pas saat kita mau gratuade. Pas kelulusan anak-anak BP. Mungkin setelah ujian.”, jelas Cakka. Agni hanya bisa membulatkan bibirnya membentuk huruf O.
“Yaudah deh Cak. Gue duluan aja. Bye! Makasih sekali lagi!” Agni berlalu. Masih terdengar derap langkah kaki Agni yang menelusuri lorong sekolah yang sedang kosong itu. Cakka hanya bisa tersenyum.
Mungkin sekarang adalah hari keberuntungan Cakka. Hari ini ia bisa bercakap-cakap dengan Agni walau hanya beberapa saat. Saat-saat yang ia lalui bersama Agni adalah saat yang paling membahagiakan di hidupnya. Walau tadinya Cakka berharap, ia dapat menawarkan tumpangan untuk mengantarkan Agni ke rumah. Ah, biarlah.
Dengan sedikit cekatan, Cakka mengambil kunci motor di tasnya. Berlari ke arah parkiran motor. Berharap detik-detik yang berjalan dapat diperlambat. Berhubung Cakka akan belajar kimia. Pelajaran yang dicap sebagai kelemahan Cakka.
Huufft.. Akhirnya Ify inget juga sama Rio, *penulis sujud syukur*. Nah, alvin-sivia lagi dalam masa PDKT, Gabriel masih mencari belahan jiwanya, Cakka dan Agni masih agak kaku, Rio dan Ify akan memulai lembaran yang baru. Masalah sudah selesai satu, tapi apakah semua akan berbahagia hanya sampai di sini?
Ciao!
= Irena =
Part 11-ny dounkz...
ReplyDeletehehe :)
irenaa ayodong lanjut nya di post u,u di ning udah sampe yang alvin main ke rumah via kalo gasalah ayodonng
ReplyDelete