Thursday, 19 August 2010

Innocent Reflection : Part 7

Mengenang masa lalu bukanlah masalah yang mudah. Sangat tak mudah. Apalagi kalau itu adalah masa lalu yang, mungkin tak terlalu penting buat kita. Yah daripada waktu habis karena membaca basa-basi sang penulis, langsung aja kita ulas masalah ini di dalam part yang akan kalian baca..

Part 7 : Rio Cemas, Sivia Cemburu

Tanpa pikir panjang lagi Rio menggendong Ify yang terkulai lemah. Ia tak memperdulikan ratusan tatapan mata tengah menatap ke arahnya sambil berbisik. Tujuan Rio hanya satu, UKS. Maklum saja banyak yang melihat Rio, karena bel yang menandakan istirahat telah berdering beberapa menit yang lalu.

Sivia yang sedang melangkah keluar dari kelas dengan mata yang santai, refleks terbelalak dengan jantung yang tiba-tiba tak tenang. Ify, sahabat terbaiknya, pingsan dengan tubuh yang sangat lemas digendong oleh seorang laki-laki yang ia tak tahu itu siapa. Yang ia tahu sekarang, kedua sosok itu telah menghilang di depan UKS.

Derap langkah menghentikan aktivitas Alvin yang sedang melihat mading. Alvin menoleh. Sivia sedang berlari ke UKS yang tak jauh dari tempat yang ia tanjakkan. Diselimuti oleh rasa penasaran, akhirnya Alvin mengikuti Sivia.

***

Perlahan Rio meletakkan badan Ify di tempat tidur yang beralaskan bed cover putih. Lalu ia duduk di salah satu bangku yang ada di dekatnya. Wajah cantik Ify terlihat pucat pasi. Badan kecil itu lemas sekali. Napasnya sedikit tak beraturan menandakan Ify memang agak sakit.

“Kamu kenapa Lil fairy..?” gumam Rio pelan sambil perlahan menggenggam jemari Ify yang berada di hadapannya.

Ketukan halus yang terdengar membuat Rio menoleh ke arah sumber suara. Sebuah kepala tersembul di sela-sela pintu yang terbuka itu. Sivia. Rio menaikkan alis.

“Iya? Ada apa ya?” tanya Rio.

“Emm.. Kak, itu Ify bukan?” tanya Sivia dengan nada ragu. Rio menoleh sekilas ke arah Ify, kemudian mengangguk. Sivia segera masuk dan mengambil salah satu kursi yang ada di UKS. Tak lama sebelum Sivia bersantai-santainya duduk, sosok lain telah mengikuti Sivia.

“Misi.”, ujar sosok itu singkat. Serempak Rio dan Sivia menoleh. Alvin.

“Eh, Vin. Ngapain lo? Ngebuntutin gue?” kata Rio cuek.

“Hii.. Kagak napsu gue ama lo. Gue ke sini gara-gara tadi Sivia lari. Ya..” Alvin yang baru menyadari kata-kata yang ia lontarkan itu termasuk frontal, refleks menutupi bibir dengan tangannya. Sivia hanya menunduk. Malu.

Tapi, Rio tidak memperdulikan sikap mereka yang sebetulnya sama-sama salting. “Lil Fairy..” gumam Rio pelan. Ia membiarkan keberaiannya meluap untuk menggenggam lagi jemarri Ify. Sivia yang melihat Rio menggenggam tangan Ify, menjawil pundak Alvin yang tengah berdiri tegap di samping Sivia.

“Kak, kenapa tuh sohib lo?” tanya Sivia dengan nada sedikit berbisik. Alvin mengangkat bahu.

“Meneketehe.”, jawab Alvin singkat seraya memasukkan salah satu tangannya ke dalam saku.

“Yaelah kak. Emang dia kagak pernah curhat tentang cewek gitu ke elo?” tanya Sivia lagi. Kali ini Alvin tidak menjawab, hanya menggelengkan kepala.

Oke. Kenapa Alvin jadi diam begini di hadapan Sivia? Padahal sudah lebih dari 2 kali mereka bertemu. Dan yang bisa Sivia simpulkan dari Alvin adalah, Alvin itu baik, cerdas, perhatian, dan.. tampan. Sivia yang terpikirkan akan kata terakhir yang baru saja ia batinkan, merasa rasa panas mulai menjalar ke wajahnya.

“Yo, mau makan apa lo?” tanya Alvin dengan tujuan untuk memecah keheningan yang, ia rasa, tidak begitu enak buat dia. Rio menggeleng. Tak mengalihkan pandangan dari Ify yang berbaring dengan wajah pucat dan badan yang lemas.

Alvin menghela napas. “Yaudah. Gue mau jajan. Ada yang mau nitip?” kata Alvin sambil beranjak dari tempat ia berdiri. Sivia menatap Ify dan Rio sekilas, lalu ikut berdiri.

“Gue ikut deh kak.. Perut gue lagi ngga bisa kompromi nih” kata Sivia dengan senyuman di wajahnya. Seketika wajah Alvin terhiasi dengan rona merah yang terasa panas untuk Alvin. Kemudian Alvin memalingkan pandangan ke tempat sampah yang ada di depan UKS. Ia juga tak tau kenapa ia harus menatap tempat sampah itu?

“Yaudah. Gue keluar dulu ya Yo.”, pamit Alvin sebelum berlalu dengan Sivia. Rio mengangguk. Perlahan, Alvin menutup pintu kamar, dan berjalan menuju kantin.

“Temen gue kagak bakal di apa-apain ama kak Rio kan kak?” tanya Sivia dengan nada yang cemas. Alvin tertawa kecil sambil menggeleng. Kemudian menatap gadis yang berjalan beriringan dengannya.

“Rio ngga kayak cowok yang lain kok. Tenang aja”

***

Wajah Ify masih terlihat pucat. Rio menatap gadis rapuh itu dengan tatapan iba. Tak sanggup ia melihat sahabatnya itu tergeletak dengan lemas itu lama-lama kan? Sudah pasti. Rio meraih ponsel dari saku celananya dan mengetik beberapa tombol. Mendekatkan ponsel itu ke telinganya dan menunggu. Belum genap dua nada sambung, sebuah suara halus tengah menyapa di ujung sana.

“Halo.”

Rio menelan ludah. Menarik napas dan berharap suara itu masih mengenali Rio. “Tante Ayu, ini Rio tante.. tante inget ngga?”

Suara itu terdiam, kemudian menyahut kembali. “Ya ampun Rio. Lama ngga ketemu! Kenapa?” jawaban itu cukup membuat Rio puas karena sang pemilik suara yang merupakan mama Ify itu mengenalinya.

“Tante. Ify pingsan..” ucap Rio lirih.

“Astaghfirullah! Kok bisa?” Mama Ayu yang tadi terdengar senang, berubah drastis menjadi suara yang bernada panik. Rio mengangguk, walau sempat terlintas di benaknya bahwa Mama Ayu tak akan melihat dia mengangguk. Kemudian melemparkan pandangannya ke arah Ify yang masih terkulai tak berdaya.

“Maaf tante kalo misalnya tante sekarang sibuk. Tapi apa tante bisa ke sekolah Ify sekarang?” tanya Rio harap-harap cemas. Ia tahu mamanya Ify itu wanita karier yang jarang berada di rumah. Berjuta do’a dibenak Rio agak Mama Ayu bisa menyempatkan beberapa jam untuk anak sulungnya.

“Yaudah. Restoran tante tinggal dulu deh.. makasih ya Rio, tante akan segera on the way ke sana.”, sambungan terputus. Rio kembali memasukkan ponsel kecil tersebut ke dalam sakunya, dan duduk di samping Ify. Menatap wajah gadis dengan nanar, tersimpan rasa rindu dan sedih di benaknya.

***

Hampir saja SMA Bina Pusaka gempar. Karena melihat Alvin berjalan bersisian dengan seorang gadis yang nampak asing di mata mereka. Alvin berlagak cuek, namun Sivia sudah mulai merasakan hawa tidak enak melalui pandangan yang tertuju kepada mereka berdua. Apalagi tiga sosok gadis yang menurut Sivia adalah anak kelas XII, menatap mereka tajam. Membuat Sivia berdigik ngeri. Karena tatapan itu seolah-olah ingin menelan Sivia hidup-hidup.

“Kak, lo nyadar kagak sih kita diliatin mulu ama anak-anak se-Bina Pusaka? Buset dah hawa udah kagak enak nih..” tanya Sivia polos. Dia tak tahu mengapa para murid menetapkan pandangan mereka kepadanya dan Alvin.

“Udah biarin aja.”, Sivia merenggut mendengar respon Alvin. Helaan napas berhembus dari hidung Sivia. Ia melihat Agni sedang berjalan santai dengan sebuah minuman di tangan kanannya.

“Kak Agni!” sapa Sivia. Agni yang tadinya sedikit menunduk, membalas sapaan Sivia dengan sebuah lambaian tangan. Tapi keningnya mengkerut ketika melihat bahwa Sivia tidak bersama Ify.

Agni menunggu beberapa langkah Sivia agar lebih dekat dengannya. Agar bisa mendengar pertanyaan yang ingin ia tanyakan. Pertanyaan yang sedari tadi cukup terngiang saat ia menyadari bahwa Ify tidak terlihat batang hidungnya.

“Hei, Vi. Ify kemana? Kok ngga bareng elo?” setelah berkata demikian, Agni menyeruput kembali minuman yang malang itu.

“Ify di UKS kak. Tadi katanya pingsan.”

“Walah? Kok bisa??”

“Ngga tau. Kalo mau ngejenguk, ikut gue dulu ke kantin. Sumpah demi apapun aja perut gue udah kagak bisa kompromi nih kak..” Agni ternganga sesaat, lalu derai tawa terdengar dari bibirnya. Sivia hanya bisa mengumbar sebuah cengiran di wajahnya.

“Yaudah yok yok..”

“Ehm..” Alvin yang merasa daritadi sebagai sebuah obat nyamuk, hanya bisa berdehem. Agni menoleh ke arah Alvin dengan kening yang makin berkerut.

“Woelaah! Alvin! Gue kira siapa?” ujar Agni sambil menepuk-nepuk pundak Alvin. Alvin hanya tersenyum sementara Sivia menaikkan alis.

“Lho. Kakak kenal Kak Agni?” Sivia menunjukkan jari telunjuk kecilnya ke arah Agni. Alvin mengangguk.

“Gimana ngga kenal orang dia aja waktu itu gue ajakin seleksi OSIS eeeh. Dianya kagak mau..” Alvin mulai curcol membuat Agni terkekeh.

“Yaelah Vin. Itu gara-gara gue males aja. Mendingan gue main basket sembari ngisi waktu luang” timpal Agni.

“Ya tapi kan waktu luangnya bisa diisi dengan kegiatan OSIS. Kan seru tau. Bisa jurit malam, ngerjain adek kelas, dan blablabla.. Yang jelas pokoknya seru banget deh! Kagak nyesel kalo ikut OSIS. Percaya deh ama gue”

“Yaa mau-mau aja sih percaya. Tapi sumfeh ane zuzur deh. Ikut OSIS tuh cuma nyape’in badan! Lo liat aja entar kalo abis kegiatan-kegiatan gitu. Dan juga kalo ada rapat OSIS nanti ketinggalan pelajaraaaan..”

Alvin membalas balik kalimat Agni. Ia tak mau kalah dengan teman yang terasa nyaman buatnya. Tanpa ia sadari, seseorang tengah menatap mereka sayu. Tersimpan sesak di dada, dan perasaan aneh yang mulai menyeruak.

Sivia menatap Alvin dan Agni yang sibuk berbacot ria. Tapi, ia mengheningkan pikiran sejenak. Bukankah tadi Alvin tengah menemani dia untuk ke kantin? Kenapa dia harus menghentikan langkah di tengah jalan menatap kakak kelasnya yang berbincang yang ia tak tahu topiknya apa? Sivia menghela napas panjang, menyembunyikan perasaan yang aneh ini semakin menyeruak membuat dada Sivia terasa sesak.

“Ehm.. eh Kak..” Sivia mencoba mengalihkan perhatian.

“Tapi setelah gue pikir pikir sih ya, OSIS emang seru juga sih.. Jurit malam, ngerjain adek kelas, skip class...” ujar Agni dengan tatapan setengah menerawang ke arah langit-langit lorong.

“Really??” Alvin mulai merasakan semangat membara dalam benaknya. Agni menahan tawa.

“Dalam MIMPI!! Hahahahahaha..” Alvin hanya bisa mengerucutkan bibir dan mengacak rambut Agni setengah kasar. Membuat dada Sivia yang tadi sesak, terasa semakin sesak.

“Gue duluan aja deh!!” teriak Sivia dengan nada yang mulai meninggi. Walau sama sekali tidak di gubris oleh kedua kakak kelas itu.

Sivia berlari. Tanpa tujuan ke arah manapun. Tapi akhirnya derap langkah yang membuat Sivia semakin sesak itu terhenti di sebuah toilet ujung. Tepat berada di depan kantin. Tanpa berfikir dua kali, Sivia masuk ke dalam salah satu kamar mandi yang kosong dan menguncinya. Ia tak bisa menahan rasa sesak yang makin menjadi.

‘Kenapa gue jadi kayak gini sih? Kenapa dada gue sesak banget. Setahu gue gue ngga punya asma, deh.. Tapi kenapa rasa ini muncul karena Kak Alvin ama Kak Agni yang berdua begitu? Lo kenapa sih Siviaaa!!’ batin Sivia. Entah dia sadar atau tidak sebuah butiran hangat mulai terasa meluncur ke arah pipi Sivia.

Sivia membenamkan wajah di kedua lututnya. Sekarang ia terdiam berada di toilet itu. Rasa lapar yang tadi telah menolak kompromi perutnya hilang entah kemana. Yang ia rasakan sekarang hanyalah sesak, pedih, perih. Dan polosnya, Sivia tak tahu mengapa hatinya bisa terasa begitu pedih, napasnya tak beraturan karena sesak yang makin menjadi, dan mata Sivia mulai terasa perih karena tangisan yang berlangsung beberapa menit ini.

Aneh ya? Jelek ya? Kalo kata-katanya aneh maklum aja karena masih pemulaa banget sama hal yang berhubungan dengan menulis cerita. *curcol* Yah tapi sudahlah. Dan maaf sekali lagi kalau lanjutannya agak lama. Keep reading and keep comment, guys!

Ciao!

= Irena =

No comments:

Post a Comment