Thursday, 19 August 2010

Innocent Reflection : Part 3

Sivia-Alvin.. Ify-Rio.. Aaah.. What a cute couple.. tapi belum tentu lho. Mungkin saja mereka mempunyai masalah masing-masing. Seperti Ify, dengan bayangannya yang tak terpantul. Bagaimana dengan Sivia? Atau mungkin Alvin dan Rio juga? Mmm..

Part 3 : Rio Kapten Basket?!

Ify berlari kencang menuju kelasnya. Bel sudah berdering 5 menit yang lalu. Namun berhubung mangkuk berisi bakso yang masih bersisa satu itu memaksa Ify untuk menghabiskannya. Ify memang tak biasa memubazirkan makanan.

Rasa takut menjalar ke jantung Ify. Jantungnya berdetak cepat. Ia takut karena setelah sesi free period itu pelajaran Pak Duta. Yah, taulah sendiri Pak Duta. Yang menjabat sebagai wakil kepala sekolah dan memegang tanggung jawab dalam mengajarkan kimia kepada para murid. Mungkin terdengar biasa saja tapi kalau Pak Duta itu sudah menasehati satu murid, itu sudah seperti mengetik sejarah tentang pembuatan Pancasila sebanyak 5 kali.

Sekarang Ify sudah berdiri di depan kelas. Hawa tak sedap sudah merasuki tubuhnya. Ia mengintip lewat jendela kelas yang terpampang dihadapannya. Dilihatnya Pak Duta sedang memegang secarik kertas. Dan yang pasti kertas itu adalah kertas absen. Ify mencoba menarik napas.. dan menghembuskannya. Ia mulai memutar kenop pintu kelasnya.

“..Alyssa Saufika!” bersamaan dengan Pak Duta mengatakan itu, Ify masuk ke kelas sambil menunjuk tangan. Semua tatapan murid tertuju pada Ify yang sedang menundukkan kepalanya.

“Alyssa, kenapa kamu terlambat?” tanya Pak Duta yang menaruh secarik kertas itu di meja guru dan melipatkan kedua tangannya di dada. Ify menelan ludah. Masa ia harus jujur bahwa ia harus menghabiskan bakso yang masih tersisa satu?

Ify menunduk. Masih terpikirkan dibenaknya bagaimana menjawab pertanyaan Pak Duta yang tadi belum terjawab. Sementara itu, Sivia masih melihat sahabatnya di depan dengan keringat dingin. Tangannya tergenggam kuat.

Sekarang Ify memberanikan diri untuk menjawab. Walau ada sedikit kebohongan di belakangnya, “Maaf pak, tadi saya abis dari toilet. Itu alasannya saya terlambat” jawab Ify dengan kecil harapan agar suaranya tak terdengar gemetar.

Jawaban Ify terbalas oleh anggukan kecil Pak Duta. “Baik. Silahkan kamu.. duduk.” Sahut Pak Duta. Baru saja Ify menghela napas... “..duduk di lapangan basket. Silahkan keluar dulu selama sepuluh menit. Setimpal seperti berapa menit kamu telat tadi. Cepat!”

Dengan lunglai Ify berjalan keluar kelas diiringi dengan tatapan anak-anak sekelas XI IPA1. Tentu saja Sivia menunduk kecewa. Masa hanya karena terlambat 10 menit. Catat. 10 MENIT sudah dihukum. Ah, mungkin keberuntungan tidak memihak padanya maupun Ify. Mau tak mau Sivia harus mengonsentrasikan pikirannya ke pelajaran kimia karena Pak Duta sudah menjelaskan tentang Bab 1 di depan kelas.

***

Mau tak mau Ify harus duduk di lapangan basket yang cukup terik siang itu. Memandang ke langit yang tertutupi pohon yang tepat ada di atas Ify sehingga hawa disekitar Ify sedikit teduh. Kembali dengan image Ify yang pendiam. Ia terus menerawang sambil terbayang wajah ayahnya yang sedang tersenyum. Ify mencoba menahan air mata yang mulai terasa dikedua sudut matanya.

“Papa...” gumam Ify kecil. Namun gumaman itu tak berlangsung lama. Karena sebuah view lainnya telah menarik perhatian Ify.

Rio, Gabriel, Cakka, dan Alvin tengah berjalan ke lapangan dengan beberapa anak cowok lainnya. Mereka berpakaian seragam basket Bina Pusaka. Spontan Ify menyembunyikan dirinya dibalik pohon itu. Berharap Pak Duta lupa akan hukuman yang beliau berikan kepada Ify.

Rio mengambil posisi paling depan. Diiringi dengan langkah Gabriel, Cakka, dan Alvin di belakangnya. Semilir angin berhembus lembut mengiringi cara jalan mereka yang cool. Daya tarik Rio memang benar-benar menarik perhatian orang. Buktinya, Ify sangat terpana melihat Rio yang seperti itu.

Rio menghentikan langkahnya, berbalik untuk memberi aba-aba kepada para anggota tim basket. “Oke. Sebelum kita mulai latihan karena pelatih kita, Kak Septian ngga dapat hadir hari ini, kita berdoa menurut kepercayaan masing-masing. Berdoa, mulai!” serempak semua menundukkan kepala dan membaca do’a dalam hati.

Ify masih terdiam tanpa kata saat melihat Rio yang memejamkan matanya sambil menundukkan kepala sedikit. Entah kenapa Rio itu bagaikan magnet dan Ify adalah logam yang selalu dekat dengan magnet tersebut. Sekali menatap Rio, susah untuk Ify buat melepaskan pandangannya dari cowok tampan itu.

Beberapa detik kemudian Rio mengangkat wajahnya. “Selesai!” diikuti oleh para anggota. Alvin berjalan beberapa langkah dan menepukkan kedua tangannya dua kali.

PLOK!! PLOK!!!

“Oke, hari ini kita akan latihan free-throw lagi sedikit dan kita akan mencoba berlatih slam dunk!” semua anggota saling pandang. Ify menganga sedikit. Slam dunk? Memang ada yang bisa melakukannya. ‘Kan slam dunk itu sulit!

Rio mengangguk seraya Alvin melanjutkan kalimatnya yang tadi sedikit tertunda. “Kita akan menghadapi SMA Karya Nusantara sekitar mendekati kelulusan kami, anak kelas XII. Ini adalah pertandingan yang menentukan poin terakhir yang kami akan dapatkan di bangku SMA. Jadi, mohon bantuan!”

“SIAP!!!” seru semua anggota dengan kompak. Alvin mengangguk mantap. “Bagus..”

Ify mengangkat alisnya. Kemudian bibirnya membentuk huruf ‘O’. ‘ooo.. ternyata Kak Alvin itu kapten Basket..’ batin Ify. Walau sebetulnya dugaannya itu.. salah.

Rio mendribble basket yang ditatap serius oleh para anggota yang sekarang sedang duduk di lapangan. Alvin, Gabriel, dan Cakka hanya berdiri berjejer di sebelah Rio sambil memegang bola basket yang kemudian di pass ke anggota-anggota.

“Oke. Sekarang kita akan latihan free-throw. Masih ingat, kan? Masa baru minggu lalu kita latihan sekarang udah lupa?” tanya Rio. Semua anggota sumringah. Tak sabar mereka latihan free-throw. Karena sebelum mereka latihan, pasti Rio akan mencontohkan free-throw yang sangat indah sekali untuk dilihat.

Rio memiringkan sedikit kepalanya. “Hmm.. Oke deh. Gue tau maksud elo pada apaan. Mau ngeliat gue ngelakuin free-throw kan?” jawaban sudah jelas terbaca di wajah anggota basket yang pada nyengir semua. Ify yang daritadi memperhatikan hanya bisa melihat. Dan memberikan komentar dalam hati.

“Oke deh. Saksikanlah penampilan amazing, spektakuler..”

Cakka menoyor kepala Rio. “Kelamaan bro! Lanjut aja napa?” Rio hanya bisa membalas dengan derai tawa kecil yang membuat wajah Ify dihiasi rona merah karena melihat wajah Rio.

“Iya iya.. Liat aja oke?” Rio mulai mendribble bola basket dan berdiri di depan ring bola basket, namun dengan jarak cukup jauh darinya. Rio mulai berkonsentrasi dan memusatkan bola basketnya ke sebuah gambar kotak di papan ring itu.

Rio menghela napas panjang dan menghitung dalam hati. ‘1..2..ti..’ pada saat Rio membatin angka tiga, ia mulai melompat sedikit dan melemparkan bola basket itu ke dalam ring. Bersamaan pada saat itu, cahaya matahari memantulkan cahayanya pada Rio dan sedikit cahaya terpantul kembali. Membuat Rio yang melemparkan bola basket itu terlihat bercahaya. Saat bola basket masuk ke dalam ring, para anggota bersorak riang. Rio hanya bisa membalas dengan senyuman.

Ify tak berkedip melihat Rio yang melakukan free-throw dengan baik. Indah. Membuat Ify tak bisa menghilangkan wajah Rio dari pikirannya. Apalagi saat Rio melakukan free-throw dengan indah. Beh..

Setelah Rio memberikan aba-aba pada adik kelasnya, ia menoleh sekilas ke arah pohon tempat Ify bersembunyi. Lalu tertawa kecil dan celingukan ke arah teman-temannya. Rio mulai berjalan ke arah Ify. Ify yang menyadari akan kehadiran Rio segera berdiri. Bodoh. Pikir Ify. Pada saat ia berdiri, justru wajahnya makin terlihat.

Ify mencoba berlari namun sesuatu tengah menepuk pundaknya pelan. Rio. Pasti Rio. Ify tak bisa memberanikan diri untuk menoleh ke belakang. Karena ia butuh cermin. Ingin tahu seberapa merahkah wajahnya sekarang. Yang jelas dan yang pasti merah sekali. Ify mencoba untuk menghela napas sejenak dan menoleh..

Ck. Ify mendecakkan lidah. Kapan sih keberuntungan memihak kepada Ify? Kenapa harus Pak Duta yang menepuknya??

Pak Duta tersenyum dan memulai pembicaraan. “Sudah 10 menit. Silahkan masuk ke dalam kelas.” Ify mengangguk dan Pak Duta berjalan ke dalam kelas. Namun ada sebuah suara yang sangat menarik perhatian Ify.

“Lil Fairy..” panggil Rio lirih. Ify menghentikan langkahnya. Tunggu. Kenapa panggilan itu harus memaksanya untuk berhenti dan menoleh? Siapa tahu yang dipanggil Rio itu bukan dirinya melainkan gadis lain.

Ify mempunyai ide agar Pak Duta tak memaksanya untuk masuk ke kelas. “engg.. Pak Duta!” Pak Duta menoleh ke arah Ify dengan tatapan heran. Ify membalasnya dengan cengiran di wajahnya. “Boleh saya ke toilet pak? Kebelet nih..” Pak Duta hanya menggelengkan kepalanya.

“Ya sudah. Kalau bisa cepet ya..” kata Pak Duta sambil berlalu ke dalam kelas. Ify menghela napas dan berbalik.

Sepasang mata yang teduh dan damai tengah menatap ke arahnya. “Kak.. Rio..” ujar Ify terbata. Rio hanya mengangguk sambil tersenyum.

“Kenapa elo keluar kelas? Di setrap?” tanya Rio dengan nada ramahnya. Ify mengangguk dengan senyuman yang terlihat di wajahnya.

“Iya, guru gue Pak Duta. Biasalah kalo tau Pak Duta tau ada muridnya yang telat walau itu hanya 1 menit, pasti bakal dihukum setimpal. Diluar kelas, selama 1 menit juga. Makanya kadang-kadang gue males pelajaran Kimia.” Rio hanya manggut manggut.

Tanpa Ify sadari, tadi.. tadi Ify berbincang dengan Rio sangat rileks. Padahal biasanya ia sangat kaku pada seseorang yang baru saja ia kenal. Bahkan kalau di ajak bicarapun Ify hanya bisa mengatakan, “Oiya..” atau “He-eh..” bahkan sesekali hanya mengangguk dan mengulaskan senyuman tipis yang menyimpan perasaan terpaksa. Tapi ini? Rio juga hanya manggut-manggut mendengar penjelasan Ify. Refleks Ify segera menutupi bibirnya dengan jemari-jemarinya.

Rio yang terheran-heran melihat Ify bertanya. “Kenapa? Bibirmu perih? Sakit?” tanya Rio dengan nada yang menyimpan kekhawatiran. Ify hanya menggeleng.

Sambil mengulaskan senyumannya, Ify menjawab. “Ngga kok kak.. Ngga apa-apa. Eh, yaudah deh gue ke kelas dulu aja kali ya?” kata Ify yang menunjuk ke kelas XI IPA1. Rio hanya terkekeh dan mengangguk.

“Silahkan, Fy. Masuk aja kali. Lo udah kayak mau pergi ke SnowBay terus ijin dulu ke mama lo deh..” tukas Rio diiringi derai tawanya yang membuat sebuah senyuman terbentuk di bibirnya. Raut wajahnya terlihat lembut. Damai. Derai tawa itu bagaikan lagu di telinga Ify. Apalagi melihat wajah tampan Rio yang tertawa lepas dihadapannya.

Ify tersadar dari lamunannya dan sedikit menggelengkan kepalanya. “Yaudah deh kak gue masuk dulu ya...” ujar Ify yang berlalu masuk ke kelas XI IPA1. Sebenarnya Rio melambaikan tangan pada Ify, namun gadis itu tak menyadarinya.

Rio menunduk sedikit. Tiba-tiba suara mengagetkannya. “Rio. Kapten! Ayo ke lapangan. Semua murid udah pada capek di suruh latihan free-throw mulu!” sahut Cakka sambil melingkarkan tangannya di pundak dan leher Rio. Alias merangkul Rio.

Sayup-sayup Ify mendengar suara Cakka yang mengatakan, ‘Rio. Kapten!’ serentak pada birai jendela Ify mengangkat kepalanya.

‘Kak Rio itu kapten basket? Kenapa semua ini terasa familiar di sini? Déja vu? Masa sih? Kayaknya ngga mungkin deh...’ batin Ify lantas memusatkan kembali pikirannya ke pelajaran Kimia yang sedang di jelaskan Pak Duta.

Ehem.. *berdehem dulu bentar, agak batuk nih..*

Rio dan Ify mulai berjalan lancar. Tapi kan masih ada pertanyaan tentang penafsiran Ify tentang Rio? Ada apa ya dengan Ify dan Rio? Kalo pada nanya AlVia, part selanjutnya itu khusus mereka berdua deh.. Oiya, maaf banget ya kalo lanjutannya agak lama.. hehe oke see you next part!

BBFN, Bye-bye for now...

= Irena =

Innocent Reflection : Part 2

Semakin lama Ify semakin terpikir pada sifatnya yang sangat berbeda. Perenung dan periang. Semuanya akan terungkap bila seseorang yang sangat berharga baginya, menyadarkannya.

Part 2 : Perkenalan untuk Sivia dan Tatapan untuk Ify

Ify mendongak sedikit ke atas. Melihat apakah gantungan papan yang di pajang itu bertuliskan nama kelasnya. Di papan itu bertuliskan “XI IPA1”. Ify merasa ingin sujud syukur juga di situ. Alhamdulillah! Dari tadi Ify dan Sivia berjalan mengelilingi lantai 2 hanya untuk kelas itu! Dan syukurlah sekarang kelas ini sudah ketemu. Karena hari ini adalah hari pertama masuk semester baru kelas 11 buat Ify dan Sivia.

Sivia membuka kenop pintu kelas itu, “Akhirnya Fy..” ujarnya sambil menghela napas. Ify mengangguk. Saat pintu terbuka, terasa hawa cool dari dalam. AC di kelas itu sangat dingin. Bersyukurlah Ify dan Sivia.

Ify menghirup napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan, “Aaah.. This is the kind of class that I’ve been looking for! Adem bangeet.. Mudah-mudahan setahun itu berjalan lambat..” kata Ify yang menaruh tas selempang birunya di loker meja.

Setelah menaruh tasnya di loker, Sivia memulai pembicaraan. “Fy, katanya hari ini kita udah bisa pake loker lhoo.. Ada di ruang audio visual yang lama! Yang katanya direnovasi itu tau kan?”

“Tau laah.. Asik asik dah! Akhirnya kita bener-bener ngerasa seperti anak SMA betulan. Pasti ntar Bu Winda mau ngasih tau tentang loker.” Ify mencoa menebak apa yang Bu Winda akan bicarakan nanti.

Sivia mengangguk, kemudian ia teringat sesuatu. “Oiya Fy, gue mau ke perpus dulu! Mau minjem novel ‘the Twilight saga Eclipse’. Mau ikut?” ajak Sivia lalu mengambil ponselnya dari tas. Ify menggeleng.

“Mungkin engga deh Vi,” Ify menatap Sivia. “Gue mau ke kantin dulu. Mendadak laper lagi nih hehe..” Ify ngenyir. Sivia mendecak lidah lalu tersenyum.

Sivia beranjak dari tempat ia berdiri. “Yaudah. Gue cabut yak!” Sivia mulai berlari ke perpustakaan.

“Ntar gue mau pinjem juga yaaa!” teriak Ify. Sayup-sayup masih terdengar suara Sivia mengatakan ‘Sip okeoke!!’. Namun Ify tak menghiraukannya. Lebih baik sekarang ia ke kantin karena di dalam perutnya sudah ada sebuah demo yang ramai.

***

Di perpustakaan, seorang cowok tengah duduk bersandar di sebuah kursi nyaman. Di depannya terdapat sejumlah baris yang berisi tentang fotografi. Cowok itu mencermati majalah fotografi itu sampai ada suara merdu yang memaksanya untuk menoleh.

“Pak, novel Eclipse ada ngga?” tanya si pemilik suara itu. Sivia.

Cowok itu menelah ludah. Diliriknya sebuah buku tebal yang tertumpuk di atas buku Fisika yang ia baca. Tertuliskan di halaman depan buku itu ‘the Twilight saga Eclipse’. Cowok itu menoleh kembali ke arah Sivia.

“ooh, di baca ama cowok itu dek.” Pak Andi menunjuk ke arah cowok itu. Cowok itu segera menekuni kembali majalah fotografi yang semula ia baca.

Sivia menoleh ke seseorang yang di tunjuk oleh Pak Andi. Sivia mengangkat alis. Cowok itu adalah anak OSIS.. tapi siapa ya? Tanpa pikir panjang Sivia mendatangi cowok itu. Cowok itu gelagapan, namun tetap mencoba untuk stay cool.

Sivia mencondongkan badannya sedikit ke depan. Didapatinya buku yang ia cari. Senyuman hangat merekah di wajahnya. “Eh, kak..” Sivia melihat ke label yang tertempel di halaman depan buku tulis Fisika cowok itu. “Kak Alvin..”

Alvin menoleh sekilas. Tersenyum tipis.

“Iya.. Kenapa dek?” tanya Alvin. Tiba-tiba Sivia merasakan sesuatu yang asing di benaknya. Sesuatu yang aneh telah menghampiri aliran darah Sivia, merayunya untuk segera mengalir kencang menuju jantung Sivia.

Sivia menarik napas perlahan. “Itu kak.. Em.. Buku tulis.. Eh! Buku nov..vel Eclipse saga nya..” Sekarang Alvin tertawa kecil. Sebuah senyuman tampan tampak dari wajahnya.

Fiuuhh... Sivia ingin sekali ada sebuah sumur di sekolah ini. Atau kalau bisa ada disebelahnya sekarang. Ingin sekali Sivia melompat ke dalam sumur itu, sumur yang berkedalaman 10 meter. Pokoknya untuk menghilangkannya dari hadapan cowok tampan ini. Ia tak tau betapa merah wajahnya sekarang.

Alvin menghentikan tawanya dan mengulaskan sebuah senyuman. “Itu dek. Ambil aja.” Alvin menunjuk ke arah buku novel tebal yang berada di hadapannya.

Sivia mengangguk dan melewati Alvin dari belakang untuk mengambil buku itu. Bersamaan dengan langkah kaki Sivia, Alvin berbalik arah juga. Tanpa disengajai atau di ridhoi oleh satu orangpun, tangan mereka bersentuhan.

DAG.. DIG.. DUG.. DAG.. DIG.. DUG.. Mungkin saja kedua jantung mereka serempak berdetak cepat karena aliran darah yang semakin deras dan tak beraturan. Ditambah lagi karena pandangan mereka beradu.

Degup jantung Alvin masih tak bisa diatur. Bahkan Alvin pun tak tau alasan yang pasti akan aliran darah yang cepat ini dan degupan jantung yang makin beradu. Biasanya Alvin cukup ramah pada perempuan. Rasanya biasa saja dekat dengan mereka. Namun, tidak dengan Sivia.

Sivia segera mengambil buku novel itu dan mendekapkannya di dada. Ia mulai merasakan rasa panas yang mulai menjalar ke wajahnya.

“Em.. Kak Alvin..” panggilan itu memaksa Alvin untuk menoleh. “Makasih.. ya..” kata Sivia, lalu berlalu meninggalkan Alvin. Tapi tak secepat itu, pada saat Sivia selesai menandatangani sebuah buku attendance student in library, Alvin memanggilnya.

“Dek!” panggil Alvin. Sivia menghentikan langkahnya. Ia menghirup napas sekuat mungkin dan ia hembuskan perlahan. Sivia menoleh dan tersenyum. Walau ada sedikit harapan agar senyumannya tak terlihat konyol.

Alvin menyunggingkan senyumannya. “Siapa nama lo?” tanya Alvin dengan suara keras, namun terdengar ramah. Sivia balas tersenyum. Entah kenapa senyuman Alvin selalu membuatnya ingin sekali membalasnya.

“Sivia Azizah. Tapi biasa dipanggil Sivia atau Via,” beriringan dengan kalimat yang Sivia ucapkan barusan, bel tanda berakhirnya free period berakhir.

“Gue duluan ya kak.. udah bel..” Sivia berlalu meninggalkan perpustakaan dan.. Alvin. Alvin masih terperangah melihat seorang peri kecil berlari menuju kelasnya. Tanpa ia sadari sepasang mata tengah memperhatikannya daritadi.

Pak Andi hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan murid SMA Bina Pusaka yang satu ini. Alvin. Alvin memang sering ke perpustakaan dan sering berbincang-bincang dengan Pak Andi. Dan dapat Pak Andi simpulkan setelah dia mengenal Alvin, bahwa Alvin adalah anak yang cool dan ngga lebay. Tapi sekarang, mungkin Alvin bisa disebut juga sedang break dari sifat cool-nya.

Ya. Pak Andi yang daritadi memperhatikan Alvin. Tapi masih ada satu orang lagi yang dari tadi tekuun melihat Alvin dan Sivia. Sosok itu sekarang tersenyum dan berlari kecil meninggalkan tempat yang barusan ia tanjakkan.

***

Ify berlari-lari ke arah kantin sampai ia menyenggol pundak seorang cowok. Mungkin benturannya agak keras jadi beberapa angket yang dibawanya jatuh. Ify menghentikan langkahnya dan berbalik.

“Tuhaaan apa salah hambaa? Udah tiga kali hamba di tabrak oleh orang, tembok, sekarang?? Ampunilah hambaa..” Ify yang memperhatikan cowok itu langsung ngakak sepuas-puasnya. Cowok itu menoleh.

“Woe! Lo bukannya bantuin malah ngakak! Nasib gue lagi apes nih selaku ketua OSIS!” lah? Cowok itu malah ngomel-ngomel ke arah Ify. Ify menghentikan tawanya dan duduk disebelah cowok itu.

“Maaf.. Maaf.. Gue lagi buru-buru nih. Mau makan.. Sori banget ya kak..” Ify membereskan angket-angket yang tadi berjatuhan. Cowok itu tersenyum melihat Ify sambil membatin.

‘Baik banget nih cewek..’ tanpa disadari cowok itu senyam-senyum sendiri. Ify melirik ke arah cowok itu yang masih berada di langit ke tujuh karena Ify. Catat. Karena IFY. Ify berdiri dan mengibas-ngibaskan tangannya di depan cowok itu.

“Buset, nih orang kenapa?” Ify melihat ke arah name tag yang melingkar dileher cowok itu. “Ma..rio.. Stevanoo.. Aditya, Haling?” Ify diam sejenak. Berfikir.. Rasanya kok nama itu familiar banget buat gue ya?

“Kak Mariooo!!!!” teriak Ify mengagetkan Rio dari khayalan tingkat tingginya. Rio mengerjapkan matanya dan menatap Ify.

Ify menatap Rio heran, “Ngayal apa kak Marioo?” tanyanya. Rio tertawa, membuat rasa panas mendadak menjalar ke arah wajah Ify.

Rio mengambil angket-angket yang agak berserakan di lantai itu “Panggil aja gue kak Rio kali.. Ngga usah panggil kak Mario. Kepanjangan,” ujar Rio. Ify hanya manggut-manggut sambil ikut membereskan angket yang berserakan.

Ify melamun sejenak saat membereskan angket itu. Masih terngiang di otaknya tentang nama Rio. Mario Stevano Aditya Haling.. Rasanya nama itu sangat familiar di telinganya. Tapi Ify tak tau alasan yang pasti. Lalu ia menggelengkan kepalanya dan kembali berkonsentrasi membereskan angket-angket itu.

Setelah mengambil secarik angket yang terakhir, Ify berdiri. “Ini kak, angket terakhirnya.” Ify menyerahkan angket itu, namun dengan tatapan tertuju pada ujung sepatunya. Entah mengapa sekarang ini Ify tak ingin melihat wajah Rio.

“Iya makasih ya dek..” senyuman Rio merekah pada saat Ify memberikan angket terakhirnya itu. Dilihatnya cewek cantik yang ada dihadapannya ini tengah menunduk. Rio membungkukkan badannya dan melirik sedikit ke wajah Ify.

“Dek.. Kok mukanya merah? Demam ya?” sambil berkata begitu Rio mengangkat dagu Ify dan segera menempelkan tangannya di kening Ify. Tanpa ditanya lagi sudah pasti mata mereka beradu.

Ify terus menatap Rio yang balas menatap Ify. Jantung mereka berdua sama-sama tak karuan. Berdetak tak pandang detik. Cepat. Kencang, pokoknya seperti degup jantung setelah menaiki Roller Coaster. Tatapan mereka masih tetap beradu. Yang mereka rasakan sekarang adalah waktu terasa berhenti berputar dan sekeliling mereka berkabut. Hanya ada mereka berdua.

Tatapan Rio begitu teduh, damai.. begitu pikir Ify. Tanpa ia sadari ada beberapa gadis melihat mereka berdua. Ify segera mengerjapkan matanya.

“Aaa.. Yaudah deh kak, gue mau ke kantin dulu! Bentar lagi mau bel deh kayaknya.. he-eh iya kan? Nah iya, yaudah gue cabut. Oke? Oke good good..” Ify mulai melangkahkan kakinya dari tempat ia beranjak tadi. Ify sangat menyesali apa yang barusan ia katakan. Hal-hal bodoh tak penting yang membuat terdengarnya derai tawa Rio.

Rio tertawa kecil sambil menutupi bibirnya yang tersenyum lebar. Ia menunduk sedikit. Alisnya terangkat. ‘Kartu nama?’ Rio mengambil kartu nama yang ia temukan sedetik yang lalu. Tertulis di situ dengan foto Ify sedang tersenyum terpampang di sudut kiri kartu mungil itu.

Alyssa Saufika Umari

You can call me Ify

Jl. Mawar II blok C3 no. 35

Home : (021) 77263005 (ngarang)

Phone : 0856 – xxx – xxxx

Rio memandang ke langit-langit dengan tatapan menerawang. Terbayang di sana wajah Ify sedang tersenyum. Senyuman yang sangat ia idamkan dan sangat ia.. tunggu.

“Akhirnya kita ketemu lagi, Lil Fairy..” gumam Rio sambil berjalan ke ruang OSIS.

Oke. Kedua tokoh ini sudah mendapatkan masing-masing belahan jiwanya. Namun tak semudah itu. Mungkin saja ada beberapa rintangan seperti kesalah pahaman atau lainnya deh! Mau tau kelanjutannya? Tunggu aja part 3 ya. Maaf kalo nanti part 3-nya agak lama. Soalnya lagi banyak tugas. Okeoke~

TTFN, Ta-ta for now!! ~gaya tigger di winnie the pooh~ ho ho ho hoo

... Irena ...

Innocent Reflection : Part 1

Part 1 : Merenung di Rumah, Senang di Sekolah

Ify melamun di depan cermin rias di kamarnya. Dihadapannya bukan hanya ada cermin, tapi juga ada foto dengan pigura berwarna biru ocean yang menghiasi. Di dalam foto itu terdapat Ify, Ray adiknya, mama, dan papa. Tanpa pikir panjang ia mengambil pigura foto itu. Matanya terus menatapi wajahnya yang saat itu sangat senang. Foto itu diambil pada saat Ify dan keluarganya jalan-jalan ke Paris. Terlihat menara Eiffel di belakang mereka.

Air mata mulai menyeruak di kedua sudut mata Ify, “Pa.. Papa kapan pulang sih? Ify kangen ama papa...” gumam Ify pelan. Butiran hangat itu sudah mulai mengalir ke wajahnya.

“Kak Ifyy..” seseorang menyembulkan kepalanya di balik pintu kamar Ify. Ify segera mengusap air matanya dan menoleh ke arah pintu. Tersenyum kecut.

“Iya Ray? Kenapa?” tanya Ify yang menaruh pigura foto kecil itu kembali ke tempat semula. Ray melangkah mendekati Ify yang masih duduk di bangku meja riasnya. Di tatapnya foto yang barusan Ify lihat. Ray menghela napas.

“Gue juga kangen bokap kak..” Ray menunduk. Ify tersenyum lalu mengelus kepala adiknya itu pelan. Lembut. Ray mendongak sedikit agar bisa melihat wajah kakaknya.

Ify masih tersenyum. Bahkan kali ini dia tertawa kecil. “Gue juga kangen Ray. Lo kira elo doang yang kangen? Hm?” tanya Ify sambil memiringkan kepalanya sedikit. Ray ikut tertawa kecil.

“Iya kak. Oiya, jadi lupa tadi kesini gue mau ngapain.. Oh! Makanan udah siap kak, abis itu kita berangkat bareng Pak Oni ya. Mobil udah di panasin tuh.” Ray berlari kecil ke arah balkon Ify yang terdapat sebuah mobil di bawah sana.

Ify menghela napas. “Mau naik mobil yang mana? APV? Gue ngga mau. Kadang eneg juga gue di sono.” Ify melipat kedua tangannya di depan dada. Ray menggeleng.

“Engga kok kak. Kita naik Jazz yang warna biru ocean. Mobil kakak, nanti.”, ujar Ray yang tengah berlari kecil menuju kakaknya.

“Yodah. Makan yuk! Gue juga udah laper. Menu makanan hari ini apa?” tanya Ify, masih dengan tangan yang terlipat di depan dada. Ray menerawang ke langit-langit kamar Ify yang berhiaskan warna biru dengan lampu hias yang menggantung di sana.

Ray menatap Ify lagi. “Ng.. Kayaknya sih..”

Belum sempat Ray menyelesaikan kalimatnya, Mama sudah memanggil dari tangga. “Ray, Ify! Pancake hangat sudah siap!” Ray dan Ify bertatapan.

“Iya, ma.. bentaar!” jawab Ify. Ray tersenyum puas. Ia menarik-narik tangan Ify makna mengajaknya ke bawah tangga. Ify mengangkat alis.

Ray masih menarik-narik tangan Ify. “Kaaak.. Ayo kaaak.. Pancake tuh..” bujuk Ray yang menunjukkan wajah memelasnya. Ify setengah mati menahan senyum melihat wajah Ray yang begitu lucu.

“Bah! Yaudah yaudah.. Ayo.” Ify langsung merangkul adiknya. Di pundaknya terselempang tasnya yang berwarna biru dengan garis-garis ungu yang menghiasi pinggiran tas.

Mereka berjalan pelan menuruni tangga. Tangga itu melingkar dan di ujungnya terdapat sebuah ruangan besar yang di pinggirnya berdiri tegap sebuah grand piano putih. Di sebelah kiri ruangan itu tersemat sebuah pintu kecil yang menuntun mereka menuju ruang makan. Dengan segera mereka berlari ke arah ruang makan itu.

Ruang makan itu bernuansa sangat mewah. Serasi dengan mata pencaharian papa Ify yang mempunyai perusahaan besar di Jakarta dan beberapa tempat di luar negeri. Juga mama Ify yang menjabat sebagai chef handal Restaurant Hot ‘n Delicious. Ruangan itu bercat putih berwalpaper bunga-bunga yang tergambar tipis dengan lampu kristal yang menggantung tepat di atas tengah meja makan besar yang ada di situ. Di atasnya sudah ada pancake dengan ice cream coklat yang terlihat sangat menggoda selera.

Ify mulai duduk dan meletakkan sebuah serbet kecil di atas rok abu-abunya. Segera diraihnya sebuah garpu dan pisau kecil untuk melahap pancake yang masih hangat itu. Sebelumnya, ia mengangkat tangannya dan berdoa dalam hati.

Beberapa saat kemudian, Ify mengangkat wajahnya. “Selamat makan..” ujarnya. Ify mulai melahap pancake yang sudah siap untuk disantap. Ray mengikuti tingkah kakaknya.

Tak lama kemudian, Ify sudah mau menyelesaikan suapan terakhirnya. Mengunyahnya, lalu menelannya sesuka hati. Setelah merasa pancake itu benar-benar tertelan, Ify segera meneguk sebuah susu coklat dingin yang berada di sebelah piringnya. Ia meneguknya sampai hanya bersisa beberapa tetesan rasa coklat.

Ify menoleh ke arah mamanya yang masih berkutat pada buku novelnya. Tertera di cover depan novel itu tulisan ‘Percy Jackson and The Lightning Thief’. Ya. Novel itu adalah novel punya Ify yang dipinjam mamanya untuk beberapa hari saking penasarannya pada cerita Percy Jackson yang sangat disukai Ify.

“Ma, aku ama Ray berangkat dulu ya.” Ify mengecup pipi mamanya. Mamanya menoleh sekilas sambil tersenyum, lalu mengkonsentrasikan pikirannya kembali ke novel yang beliau baca.

Ify menoleh ke arah Ray. Dilihatnya Ray sedang mengotak-atik sesuatu. Ify mengangkat bahu tanda tak mengerti apa yang diperbuat adik semata wayangnya itu. “Ray.. Lo lagi ngapain?” Ify berkacak pinggang.

“Nyari Nintendo gue! Mana yak?” kata Ray tanpa menoleh sekilaspun. Ify mendecak lidah. Berharap ada sebuah alkohol dan saputangan di tangannya sekarang untuk membungkam Ray dan segera ia seret ke neraka, eh sekolah.

Ify masih berkacak pinggang. “Orang udah gue buang kemaren..” kata Ify santai sambil mengeluarkan i-Phonenya dari saku seragamnya. Ray menoleh membelalakkan matanya.

“Bo’ong lo kak? Mana nintendo guaa!” Ray menggoncangkan pundak Ify dengan matanya yang mengadah ke mata Ify yang masih melihat ke layar i-Phone. Ify balas menatap Ray.

“Kalo ngga mau dibuang, berangkat sekarang! Keburu telat!”

***

Di SMA Bina Pusaka, tepatnya di ruangan markas para OSIS, yang tak lain adalah di ruang OSIS. Terdapat empat cowok yang sedang asyik dengan aktivitas mereka masing-masing. Ada yang sedang mendengarkan i-Pod, melihat-lihat kamera, duduk di meja sambil membuka-muka berkas OSIS, dan lainnya.

Cakka, sudah selesai membereskan rambutnya. Lalu melihat ke arah tempat gel Gatsby yang ia bawa dari rumah. “Yaaah.. Gel gua abiss.. Pin! Minta dong Pin! Alpiin!” seru Cakka. Alvin yang merasa terganggu karena ia sedang asyik melihat kameranya menoleh.

Alvin mendecak lidah, “Cak, gue bukan sebuah section yang ngejual semua gel Gatsby buat elo! Sana cari di koperasi! Kagak nyadar apa rambut lo tuh acak-acakkan? Gantengan juga gue..” Alvin narsis. Kemudian seseorang melempar penghapus Boxy ke arah Alvin.

Alvin menoleh. “Baek-baek Yo!” omelnya. Rio hanya bisa nyengir. Posisinya sedang duduk di meja OSIS dengan kepala yang disangga oleh kedua tangannya. Gabriel hanya duduk di atas meja OSIS.

Gabriel memasukkan HP-nya ke dalam saku. “Woi! Daripada elu,” Gabriel menunjuk Alvin “Dan elu,” Gabriel menunjuk Cakka. “..pada berantem, mendingan bantuin kita ngurusin nih angket-angket OSIS! Puyeng tau ngga seeh..”

“Lo kira lo doang yang puyeng? Gue selaku ketua OSIS di sini puyeng banget Yel! Lah elu masih mending, kan lo Cuma gantiin gue doang kalo gue ada halangan..” tutur Rio sambil membolak-balikkan berkas OSIS tentang nama-nama murid baru.

“APAA? Rio punya halangan? Yaampun Rio sejak kapan elo jadi ceweek?” Cakka mendramatisir layaknya seorang cewek di telenopela (??). rio menoyor kepala Cakka.

“Maksud gue kalo gue lagi sakit, curuut!!”

***

Sivia duduk termenung di bangku kantin sekolah SMA Bina Pusaka. Sesekali ia melirik ke jam tangan meran maroon yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya. Jam 06.23. hm, oke. Ify masih belum datang juga. Sivia mengayun-ayunkan kakinya dengan pandangan menerawang ke segala arah.

Sivia menghentikan lamunannya saat ada sebuah suara memanggilnya, “Sivia Azizaaaah!!” panggil suara itu, Ify. Refleks Sivia segera mengangkat kedua ujung bibirnya dan membentuk sebuah senyuman.

“Ifyy!! Lama amat sih loo!” omel Sivia, walau masih terkandung rasa senang saat Ify datang. Ify hanya bisa nyengir.

“Hihihi.. Abis tadi si Ray ngabisin makanannya lama banget siih!” kata Ify sambil tertawa. Sivia hanya memperhatikan wajah Ify dengan tatapan heran. Ify yang merasa diperhatikan, menoleh.

“Kenapa lo Vi?” tanya Ify heran. Sivia tak menghiraukan dan tetap memandang wajah Ify. Ify menaikkan alisnya. Dan mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah Sivia.

Sivia berhenti memandang Ify. “Masih suka memakai cermin yang sama sekali ngga mencerminkan diri lo di rumah ya Fy?” tanya Sivia.

CTAAKKK!! Skak mat. Ify tak bergeming.

Ify masih terdiam. Memang, Sivia selalu tau bahwa dirinya di rumah dan di sekolah sangat berbeda. Di rumah, Ify sangat kalem. Sementara di sekolah, Ify sangat suka bergaul dan ceria. Bahkan Ify tak tau sebetulnya dirinya yang sebenarnya itu siapa.. Apakah dirinya itu periang, atau pendiam dan perenung di rumahnya. Ia memandang Sivia yang melipatkan tangannya di depan dada. Ify berusaha tersenyum.

“Haah, udahlah jangan dipikirin.. Ayo ke kelas!” ajak Ify. Sivia tersenyum dan merangkul Ify. Ify balas merangkul Sivia. – bukan CeTe ya.. sahabat doang.. -.

Sivia memulai pembicaraan saat perjalanan mereka ke kelas. “..Fy. kalo ada apa-apa cerita aja ya ke gue..” gumam Sivia lembut. Ify mengangguk lalu tersenyum.

Dibenak Ify masih terngiang-ngiang kata yang barusan saja Sivia ucapkan.

‘Masih suka memakai cermin yang sama sekali engga mencerminkan diri lo ya Fy?’

Gimana? Gimana? Jelek ya? –maaf kalo jelek-

Bagus ngga? –kalo iya, Alhamdulillah..-

Yaudah tinggal tunggu aja Part 2-nya ya.. maklum masih amatir, jadi maaf aja kalo jelek.. :)

Cheerio!

=Irena=

Innocent Reflection : Prolog

Innocent Reflection

Pengenalan Tokoh dan Prolog

Ify : Gadis periang dan mudah bergaul. Cukup modis dan fashionable. Namun, ada sisi lain dari dirinya yang hanya di ketahui oleh sahabatnya, Sivia.

Rio : Kakak kelas Ify yang menjabat sebagai Ketua OSIS dan Ketua Klub Basket. Sangat terkenal di SMA Bina Pusaka.

Sivia : Sahabat Ify dari SMP kelas VII. Sangat setia menemani Ify. Berbakat dalam melukis dan menyanyi. Cukup pintar di kelasnya.

Alvin : Salah satu sohib Rio yang terkenal. Dengan wajah tampannya dan bakatnya dalam bidang fotografi membuatnya eksis di SMA Bina Pusaka.

Gabriel : Sohib Rio dan Alvin yang cool dan calm. Menjabat sebagai wakil ketua OSIS. Bakat yang ia punya cukup banyak. Basket juga salah satu bakat yang ia banggakan.

Cakka : Cowok playboy yang juga merupakan salah satu sohib Rio, Alvin, dan Gabriel. Tapi sayangnya dengan sejuta usaha rayuan gombalnya, belum ada satu cewek pun yang kecantol ama dia -,-

Agni : Kakak kelas Ify dan Sivia yang baik hati. Tomboy dan jago sekali dalam bidang Basket. Pernah di ajak untuk ikut OSIS tapi ia tak tertarik.

@@@

Cerita ini menceritakan tentang bayang-bayang seorang gadis yang berlawanan. Seolah-olah sebuah kaca itu tak menampilkan bayangannya yang sesungguhnya. Menyembunyikan sesuatu yang sangat misterius di belakangnya. Dan hanya ada seseorang yang dapat menyadari sisi lain dari gadis itu.

Sebagai umpama, kita melihat di sebuah cermin atau air yang tergenang di sebuah danau. Pasti ada bayangan wajah kita yang terpantul kan? Tapi kadang kalau kita melihat bayangan itu, kita tak menyadari siapa kita sebenarnya. Apakah kita baik, atau jahat? Apakah kita pandai, atau bodoh? Apakah kita kuat atau... lemah.

Disini akan aku kupas cerita yang kulihat berdasarkan kebenaran yang sering aku lihat. Banyak sekali anak-anak sekolah yang sering tertawa ceria di sekolah namun mempunyai sisi menyedihkan di keluarganya. Itu membuatku terinspirasi untuk membuat cerita ini.

Tunggu Part 1-nya ya!

I hope y’all will enjoy it~

Warm regards,

... Irena ...

Sunday, 25 July 2010

Pelatihan Bulu Tangkis Ozone di Gor Graha

Pagi yang cerah pada hari sabtu itu. menerangi aku yang sedang tertidur lelap dikamaryang ber-AC dingin, kecil, tapi nyaman. aku beranjak dari tempat tidur dan bergegas mandi.

'Fuaaah.. seger banget abis mandi,' batinku. aku sudah mengenakan baju atasan putih dan celana olahraga. Kalau masalah raket, aku nitip temanku, Nuri. Karena aku ngga punya raket maupun kok. setelah siap, aku menelepon Aini.

" Halo, kenapa Re? Gue udah siap nih! mau berangkat sekarang?" tanya Aini dari telepon. Aku tersenyum senang.

"Oke deh, siap-siap ya. Gue juga tinggal pake sepatu." ujarku girang.

"sip! Bye Re!" Aini memutuskan sambungan telepon. Aku juga. PAs sekali. Setelah mengenakan sepatu kets-ku, Aini datang.

"Yuk, berangkat! Nanti telat!" ajak Aini. Aku mengangguk dan kami menaiki avanza merah milik keluargaku dan langsung on the way to Gor Graha.

Sesampainya disana, terlihat Tasya, temanku. Ia melambaikan tangannya. Aku membalas lambaian tangannya. Begitu juga Aini.

"makasih ya pak." ujarku dan Aini pada pak Kawan, supirku. Pak Kawan mengangguk, lalu melaju pergi ke rumah.

"Hey, Tasy! Lama ngga ketemu!" sapaku. Aku dan Tasya ber-high five. maklum, kami jarang bertemu semenjak kami naik ke kelas 8.

"Eh, masa katanya pelatihnya Pak Ginting? Emang bener ya?" tanya Tasya. Aku menelan ludah. Pak Ginting? Guru olahraga Ozone yang killer itu? Gila aja!

" bukannya pak Ginting itu pembina doang?" tanya Aini.

"ga tau juga sih.. mudah-mudahan yang ngajar kita baik deh." sahut Tasya.

"Amiiiinn...." aku meng-amin-kan apa yang diucapkan Tasya barusan.

"Mau main dulu ngga?" ajak Tasya.

"Ngga deh, mau beli minum dulu." ucapku sambil meninggalkan gor, keluar untuk membeli minuman.

Setelah membeli minuman, aku kembali ke gor. Pas sekali, aku melihat Prima dan Nuri berjalan bareng. Langsung saja aku menghampiri mereka berdua.

"Pipiiiiiim, Nuriiii....." aku merangkulkan tanganku kepundak mereka berdua. Mereka sama-sama menoleh.

"Ireeeee....." sapa Nuri dan Prima. Namun, ngga berbarengan.

"masuk yuk," ajakku. Mereka berdua setuju. Sesampainya di dalam, sudah ada pak Ginting menyuruh kami masuk. Kami segera masuk ke lapangan indoor yang ada di dalam. di sana cukup banyak orang, namun tidak begitu ramai.

"baik, kalian masih pendatang baru kan? bapak akan mengabsen kalian dulu" ujar Pak Ginting yang membawa secarik kertas yang berisi nama-nama kami.

Setelah mengabsen, kami melakukan pemanasan. Senam pemanasan, lari keliling sebanyak ...kurang lebih 6 kali, dan lari sprint dan zigzag. Lalu kami latihan teknik memukul kok dan memegang raket yang benar. Aku cukup bagus dalam hal ini. Kemudian kami latihan memukul... tali rafia yang digantung di atas kami. Kami harus memukulnya kencang. Supaya terbiasa juga dengan memukul. Nah, saat yang ditunggu-tunggu, memukul kok.


setelah Nuri, giliranku tiba. Aku sangat grogi. Beberapa kok tidak dapat kutangkis. Namun akhirnya bisa kutangkis juga, beberapa anak cowok yang melihatku kewalahan juga ikut tertawa. Membuatku ingin menangis, tapi aku harus tegar. Aku pasti BISA! - apabangetnihbloggajeabis -

Tak terasa sudah jam 11. kami menyelesaikan latihan lalu pulang. betul-betul latihan yang ketat dan cukup keras! harus memakan tenaga untuk bermain bultang dan Olahraga lainnya - yaiyalah - dan keesokan harinya , badanku sakit semua ... (==)